Jumat, 29 Oktober 2010

Merasa Tak Berguna?

Kembali ke tahun 2004 ketika saya harus mencari orang tua dan adik saya yang hilang dalam musibah tsunami. Sampai saat ini, anugrah terbesar yang dilimpahkan Tuhan kepada saya adalah saya menemukan kembali keluarga saya tanpa kurang suatu apa, walaupun telah terendam lumpur yang dibawa tsunami dan baru dapat ditemukan pada hari ketiga setelah bencana. Tuhan sangat baik kepada saya.

Bencana lagi2 terjadi. Di Wasior, di Mentawai, di Merapi. Dan mungkin masih banyak bencana lain yang mungkin terjadi. Semua masih menjadi rahasia Tuhan.

Ketika begitu banyak relawan yang bergerak untuk membantu sesama, saya malah tetap berada di kota ini. Masih tidur di ranjang saya yang sangat nyaman. Masih makan enak. Saya malu sekali. Ingin sekali rasanya terbang kesana. Membantu mereka dengan tangan saya sendiri.

Saya sampaikan keinginan saya kepada orang tua. Karena saya yakin mereka tahu rasa nya membutuhkan bantuan. Ternyata orang tua saya tidak mengijinkan saya pergi. Saya sempat sedih dan merasa tidak berguna. Tapi orang tua saya membuat saya berpikir. Saat ini saya tidak bisa pergi membantu dengan tangan saya. Tapi saya bisa memotong seluruh anggaran hura2 saya untuk disumbangkan kepada para korban.

Membeli satu cangkir kopi senilai Rp.48.000.- membeli helm sepeda baru senilai Rp.400.000.- membeli beer untku minum semalam senilai Rp.300.000.- membeli dvd film seri senilai Rp.250.000.- semua bisa saya lakukan dalam satu perjalanan pulang kantor menuju rumah. Saya menyadari, kalau saya tidak belikan itu semua, saya tidak akan mati karena nya.

Lalu, kenapa saya lakukan juga? Saya benar2 malu pada diri sendiri. Saya tak berguna.

Sudah saatnya saya memperbaiki diri. Bukan artinya saya tidak boleh bersenang2. Saya akan sisihkan sebagian untuk yang membutuhkan karena saya sangat berkecukupan. Saya membantu dengan cara saya. Walaupun jika memungkinkan, saya pasti akan kesana. Semoga Tuhan memberi jalan dan orang tua saya memberi restu.

Jumat, 01 Oktober 2010

Gay Friends

Being gay adalah pilihan seseorang. Teman saya gay. Teman saya yang lain juga ada yang gay. Pertama sekali saya mempunya teman gay ketika saya masih kuliah. Dia orang Vietnam berkebangsaan Perancis. Namanya Olivier Nguyen. He is a good guy. Kami masih berteman sampai sekarang walaupun dia tinggal di Paris dan saya di Indonesia.

Lalu saya dikenalkan dengan seorang Doctor dari NYU. Dia gay. Dia smart, dia baik. Dia beragama islam, dan menjalankan agamanya dengan baik.

Kemudian seorang teman baik saya, penganut Chatolic taat, ternyata memilih menjadi gay. Kami tetap berteman baik.

Dalam pertemanan kami, tidak satupun diantara teman saya yang gay tersebut memaksakan saya untuk pro pada mereka atau memaksa saya untuk memahami mereka. Kami berteman baik. Masalah pilihan tersebut bukan sesuatu untuk diargumentasikan.

Personally I dont agree with it. With someone becoming gay. Tapi tidak berarti saya harus menentang mereka. Saya berteman dengan mereka. Mengenai benar salah yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan, biarlah Tuhan yang menilai. Tugas saya di muka bumi ini adalah berbuat baik kepada sesama. Itu juga yang dilakukan oleh teman2 saya yang gay.

Is it too much to ask?

Suku, Agama, Ras, Antar-Golongan. Waktu saya masih kecil, saya sering mendengar tentang ini. Dimana orang2 berbicara tentang SARA. Saya tidak mengerti.

Lalu saya sering mendengar dimana orang2 dari satu suku melarang anak/sodara/keluarganya untuk menikah dengan suku lain. Entah apa alasannnya. On the other hand, keluarga saya adalah keluarga yang sangat bercampur aduk. You name it, dari Aceh, Batak, Ambon, Makasar, Jawa, Phillipina, China, Australia, Inggris dan Yugoslavia juga ada. Agama kamipun beragam. Kami selalu dapat menghargai satu sama lain. Kami merayakan semua hari besar bersama2. Kalau kami berselisih paham, dapat dipastikan itu bukan karena agama atau ras. Hanya karena mobil yang lecet, anak2 yang nakal, titip menitip anak, dan hal2 seperti itu.

Dalam perjalanan waktu, kedua adik saya menikah dengan laki2 dari suku lain. Saya sendiri mempunyai partner Chinese. Orang tua kami tidak pernah mempermasalahkan itu. Walaupun kedua org tua saya penganut agama islam yang sangat taat, mereka tetap menghormati org dg agama apapun. Ketika hari minggu tiba, atau ketika paskah datang, mereka mengingatkan partner saya untuk tetap pergi ke gereja. Ketika imlek tiba, maka kamipun beramai2 pergi makan dengan keluarga kami yang chinese. Kira2 begitu lah yang terjadi dalam lingkaran keluara kami.

Minggu lalu, saya kecewa dengan penyataan beberapa orang tentang perbedaan agama, perbedaan pilihan dan pagi ini saya terbangun dengan menerima text tentang tiko.

Saya pikir, dengan semakin majunya pendidikan, dengan semakin luasnya wawasan pandang, seluruh boundaries akan menipis. *Kalau saya tidak bisa bilang hilang*.

Kenyataannya masih banyak orang yang saling benci. Tidak bisakah saling menghargai saja jika tidak bisa saling menerima.