Minggu, 02 November 2008

Laki2 dan Perempuan

Banyak orang menyuarakan persamaan hak untuk laki2 dan perempuan. Walopun saya ini bukan seorang feminis, tergelitik juga untuk menuliskan sesuatu tentang kesetaraan gender. Ya, setara. Bukan lebih unggul.

Saya dibesarkan dalam keluarga agamis yang moderat. Orang tua saya sangat menekankan agama itu penting dan kita wajib melakukan tuntunan yang ada. Walaupun dalam agama yang diwariskan kepada saya itu posisi wanita selalu berada dibawah posisi laki2, tidak demikian halnya orang tua saya mengajarkan kami anak2 nya. Orang tua saya selalu mengajak anak2 nya untuk berolah raga. Olahraga pertama yang saya kenal adalah berenang. Saya sangat menikmati itu. Lalu saya dikenalkan pada sepakbola. Saya juga sangat suka. Bagi sebagian orang, sepak bola adalah olah raga laki2. Tidak bagi keluarga saya. Olah raga harusnya tidak mengenal batasan gender. Waktu saya mulai diajarkan menyetir motor, orang tua saya pun mengajarkan saya cara merawat motor tersebut. Saya dikenalkan pada semua onderdilnya, sampai bagaimana mengganti busi.

Bukan maksud orang tua saya membentuk anak perempannya menjadi laki2. Karena dalam saat bersamaanpun, saya dilibatkan dalam kegiatan belanja sayur mayur, mengolahnya sampai menghidangkannya. Mencuci perangkat masak, peralatan makan, menata meja, sampai cara mengangkat cangkir ketika menghidangkan minuman kepada tamupun saya diajarkan.

Hal itu pula yang ingin saya ajarkan pada anak2 saya nanti. Tidak ada istilah 'itu kerjaan perempuan' dan 'itu kerjaan laki2'. Lakukan. Jika tidak mampu karena berbagai keterbatasan, minta tolong lah dengan baik.

Disanalah saya meletakkan kesetaraan laki2 dan perempuan. Dalam tanggung jawab dan pekerjaan. Tidak lebih tidak kurang.

Beberapa teman perempuan mempunyai pendapat berbeda. Iam fine with it. Semua orang boleh mengemukakan pendapatnya. Bagi mereka, lelaki lah yang bertugas mencari nafkah. Perempuan menikmati. Uang suami adalah uang istri juga. Dalam posisi si istri bekerja juga, maka uang istri adalah hanya uang istri (bukan milik suami).

Bagi saya, saya tidak akan merongrong orang yang saya cintai. Membuat dia kelelahan mencari nafkah sedangkan saya tinggal menikmatinya. Hati saya tidak mampu melakukannya. Mari kita cari bersama dan nikmati bersama.

Seorang teman menceritakan bagaimana dia menggaet lelaki yang kini menjadi suaminya. Saat itu ia merasa sudah sampai di usia yang dipatoknya sudah harus menikah. Jadi dia tidak menyia2kan waktu nya lagi. Segala usaha dilakukannya sampai si laki2 bertekuk lutut dan akhirnya mereka menikah dalam 6 bulan. Bagi saya, itu sensasional. Karena saya si penganut paham kesetaraan tidak akan melakukan hal itu. Itu suatu langkah yang berlebihan bagi seorang perempuan seperti saya. Bagi saya, perempuan menunggu saja.

Dilain waktu, seorang teman terlihat sangat takut dan tunduk pada pacarnya. Teman saya laki2. Dia mengatakan itu bukan takut, tapi sayang. Yang saya lihat adalah dia seperti kerbau yang ditusuk hidung nya dan diarahkan kemanapun sipacar mau, dan dia tidak memberikan argumen apapun, walaupun dia tidak setuju. Saya sebagai perempuan, tidak akan mau mempunyai hubungan dengan laki2 yang secara mental, wibawa, dan pendapatannya dibawah saya. Karena saya mau laki2 saya mempunya pridenya sendiri, dan dia mampu mengatur saya (dengan sayang).

Jadi, jika saya punya anak perempuan nanti nya, selain hal2 yang 'dianggap normal' saya akan ijinkan dia untuk jadi pelaut, saya akan ajarkan dia bermain bola. Dia harus bisa mengganti bola lampu, memperbaiki saluran yang mampet. Tapi saya akan tegur dia jika dia pergi ke rumah laki2 untuk mengejar2 laki2. Itu akan terlihat murahan.

Kalau anak saya laki2, diapun harus bisa memasak. Bukan untuk memasak bagi orang lain. Paling tidak, dia bisa memasak untuk dirinya sendiri jika istrinya sedang sakit atau bertugas keluar kota. Jadi tidak menjelek2an istrinya dan curhat kepada perempuan lain yang akhirnya jatuh hati karena sepiring nasi goreng yang dibuatkan oleh perempuan itu.

Disana lah kesetaraan bagi saya. Tidak lebih, tidak kurang.