Minggu, 16 November 2008

Komitmen yang menyakitkan

Kalo di hitung2, jumlah lelaki yang ada dalam hidup ku, rasanya semua jari2 tangan dan kaki ga bakal cukup juga. 'Lelaki dalam hidup ku' tidak berarti lelak yang pernah akau kencani. Ini termasuk ayah, adik, om, sepupu laki2, sahabat, kakek dan lain2 yang memberi warna dalam kehidupanku baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hubungan dengan laki2 gampang2 susah. Begitu pula claim sebaliknya yang disebutkan oleh laki2. Ibuku adalah wanita super yang dapat bertahan dengan sangat baik dalam hidup menghadapi suaminya (ya, ayahku). Tetapi hal ini pula lah yang membuatku tidak ingin menikah. Aku tidak ingin menjadi orang seperti Ibuku. Aku sadari, product masa Ibuku memang di didik demikian dalam menghadapi suami. Berbeda dengan wanita di usia ku. Tentu banyak sudah persamaan hak dan kompromi dalam hubungan berumah tangga.

Namun demikian, begitu banyaknya kejadian nyata di sekelilingku. Seorang teman tidak ragu untuk meniduri pacar orang, teman yang lain tetap maen perempuan lain padahal dia kukenal sebagai laki2 yang sangat setia.

Didunia profesional yang sangat terhormat dilingkungan kerjaku, aku berkali2 terkaget2 ketika dalam sebuah business trip mendapati teman2 ku yang telah menikah dengan santai menikmati pasangan orang lain. Sampai mual aku dibuatnya.

Aku bukan perempuan suci. Tapi aku sangat memegang teguh bonding. Even itu dalam formasi pacaran. Apalagi jika itu pernikahan. Selama aku hidup sendiri dan tidak merugikan orang lain, aku tidak keberatan dengan bentuk hubungan saling memuaskan satu sama lain tanpa ikatan. Aku bahkan tidak keberatan menjadi f**k-buddy dengan sahabat ku. Selama masing2 dari kami tidak memiliki hubungan dnegan orang lain.

Seorang teman yang tidak pernah siap berkomitmen, memanfaatkan kelemahan perempuan2 punya pasangan yang tergila2 padanya. Dengan dalih bukan dirinya yang meminta, tetapi mereka yang menyerahkan diri. Mungkin mereka tidak percaya karma. Bagaimana jadinya jika hal ini dilakukan orang lain pada sodara perempuan mereka, atau pada anak2 perempuan mereka kelak.

Aku memilih untuk tidak menyakiti siapapun. Aku memilih untuk tidak berkomitmen.

Rabu, 05 November 2008

I dream of diversity

Seorang teman baru menyapa, dan dia menyebutkan namanya. Aku membalas nya. Lalu dia bertanya, "kamu dari mana?" . Berhubung saya dari kost, maka saya jawab, saya dari kost. Dia tertawa, dan kembali bertanya, "maksud saya, kamu orang mana?" . Sambil tertawa kecil karena merasa bodoh, saya pun menjawab, "Cempaka Putih Timur". Teman baru saya langsung terbahak2. Terus terang saya bingung, tapi saya ikut tertawa bersamanya.

Hari itu saya menerima banyak pertanyaan yang sama dan reaksi yang sama terhadap jawaban saya, beberapa meng klarifikasi dengan, "ooh kamu orang betawi? orang jakarta?

Setelah mencoba mencari penjelasan dari teman yang saya percaya, akhirnya saya mengerti maksud pertanyaan mereka :"Kamu aslinya dari suku apa?"

Sangat aneh bagi telinga saya. Saya yang tinggal di lingkungan multikultural sejak kecil, tidak pernah mempertanyakan asal usul teman2 dan tetangga saya. Apalagi dikala perkenalan pertama. Apakah kesukuan begitu pentingnya untuk dipertanyakan? Saya mencoba flash back ke masa saya tinggal di lingkungan LNG Arun. Teman2 saya bermacam rupa, berbagai warna kulit, matanya ada yg segaris, ada yang besar, ada yang matanya biru, abu2, dan berambut pirang. Tidak pernah saya atau pun mereka mempertanyakan suku mana aslinya mereka. Bagi kami saat itu, semua adalah teman, walau kami berantem juga sesekali (Scott yang pernah melempar bola basket ke muka saya dan membuat bibir saya pecah berdarah). Kami menyadari kami berbeda, tapi tidak membesar2kan perbedaan itu.

Dalam pementasan budaya sekolah, tidak semua orang membawakan tarian atau baju daerah asal orang tua nya. Saya masih ingat saya memakai baju national Korea, sedangkan teman saya yang dari Manado memakai pakaian adat Aceh, dan teman lain yang dari Kalimantan menggunakan pakaian adat dari Bali. Tidak ada daerahisme yang berlebihan.

Beberapa tahun yang lalu, teman2 dari dunia kerja menambah kepusingan saya. Selain mereka mempertanyakan asal usul daerah asli saya, mereka kerap bertanya, "agama lo apa?". Gees! Bagi saya agama adalah sesuatu yang sangat pribadi, personal, individual. Akan tetapi, kali ini saya lebih diplomatis menjawab pertanyaan tersebut,"kenapa kamu ingin tahu agama saya apa?" Teman saya menjawab, "hanya ingin tahu". Dan saya pun tidak memberitahu.

Sebegitu pentingnya kah tau agama orang lain dalam hal pertemanan. Jika seseorang beragama Kristen, dan yang lain beragama Budha, lalu tidak jadi berteman?

Seseorang dengan pikiran yang sangat dangkal suatu hari men judge saya dan mengatakan seperti ini, "lo pasti akan lebih menolong orang Aceh dari pada orang Medan dong, sama seperti gw yang akan lebih menolong orang Banten dari pada orang Ambon".

No way! Saya tidak menolong orang, berdasarkan kesamaan daerah asal. Jelas2 saya akan menolong teman baik saya yang sedang kesusahan walaupun dia itu Chinese, dari pada saya menolong seseorang yang saya tidak kenal sama sekali walopun asalnya dari Aceh. Get real man! Percaya kan kalo saya bilang orang ini dangkal sekali.

Sampai sekarang, saya masih memimpikan hidup di dunia yang berwarna warni. Kita terlahir dengan ras dan warna kulit, rambut, mata yang tidak bisa kita pilih. Dan tidak ada satupun jenis yang lebih baik dari jenis yang lain. Yang penting adalah cara kita berhubungan satu sama lain dan menghargai perbedaan itu. Kapan ya...semua mimpi itu terwujud?

Minggu, 02 November 2008

Laki2 dan Perempuan

Banyak orang menyuarakan persamaan hak untuk laki2 dan perempuan. Walopun saya ini bukan seorang feminis, tergelitik juga untuk menuliskan sesuatu tentang kesetaraan gender. Ya, setara. Bukan lebih unggul.

Saya dibesarkan dalam keluarga agamis yang moderat. Orang tua saya sangat menekankan agama itu penting dan kita wajib melakukan tuntunan yang ada. Walaupun dalam agama yang diwariskan kepada saya itu posisi wanita selalu berada dibawah posisi laki2, tidak demikian halnya orang tua saya mengajarkan kami anak2 nya. Orang tua saya selalu mengajak anak2 nya untuk berolah raga. Olahraga pertama yang saya kenal adalah berenang. Saya sangat menikmati itu. Lalu saya dikenalkan pada sepakbola. Saya juga sangat suka. Bagi sebagian orang, sepak bola adalah olah raga laki2. Tidak bagi keluarga saya. Olah raga harusnya tidak mengenal batasan gender. Waktu saya mulai diajarkan menyetir motor, orang tua saya pun mengajarkan saya cara merawat motor tersebut. Saya dikenalkan pada semua onderdilnya, sampai bagaimana mengganti busi.

Bukan maksud orang tua saya membentuk anak perempannya menjadi laki2. Karena dalam saat bersamaanpun, saya dilibatkan dalam kegiatan belanja sayur mayur, mengolahnya sampai menghidangkannya. Mencuci perangkat masak, peralatan makan, menata meja, sampai cara mengangkat cangkir ketika menghidangkan minuman kepada tamupun saya diajarkan.

Hal itu pula yang ingin saya ajarkan pada anak2 saya nanti. Tidak ada istilah 'itu kerjaan perempuan' dan 'itu kerjaan laki2'. Lakukan. Jika tidak mampu karena berbagai keterbatasan, minta tolong lah dengan baik.

Disanalah saya meletakkan kesetaraan laki2 dan perempuan. Dalam tanggung jawab dan pekerjaan. Tidak lebih tidak kurang.

Beberapa teman perempuan mempunyai pendapat berbeda. Iam fine with it. Semua orang boleh mengemukakan pendapatnya. Bagi mereka, lelaki lah yang bertugas mencari nafkah. Perempuan menikmati. Uang suami adalah uang istri juga. Dalam posisi si istri bekerja juga, maka uang istri adalah hanya uang istri (bukan milik suami).

Bagi saya, saya tidak akan merongrong orang yang saya cintai. Membuat dia kelelahan mencari nafkah sedangkan saya tinggal menikmatinya. Hati saya tidak mampu melakukannya. Mari kita cari bersama dan nikmati bersama.

Seorang teman menceritakan bagaimana dia menggaet lelaki yang kini menjadi suaminya. Saat itu ia merasa sudah sampai di usia yang dipatoknya sudah harus menikah. Jadi dia tidak menyia2kan waktu nya lagi. Segala usaha dilakukannya sampai si laki2 bertekuk lutut dan akhirnya mereka menikah dalam 6 bulan. Bagi saya, itu sensasional. Karena saya si penganut paham kesetaraan tidak akan melakukan hal itu. Itu suatu langkah yang berlebihan bagi seorang perempuan seperti saya. Bagi saya, perempuan menunggu saja.

Dilain waktu, seorang teman terlihat sangat takut dan tunduk pada pacarnya. Teman saya laki2. Dia mengatakan itu bukan takut, tapi sayang. Yang saya lihat adalah dia seperti kerbau yang ditusuk hidung nya dan diarahkan kemanapun sipacar mau, dan dia tidak memberikan argumen apapun, walaupun dia tidak setuju. Saya sebagai perempuan, tidak akan mau mempunyai hubungan dengan laki2 yang secara mental, wibawa, dan pendapatannya dibawah saya. Karena saya mau laki2 saya mempunya pridenya sendiri, dan dia mampu mengatur saya (dengan sayang).

Jadi, jika saya punya anak perempuan nanti nya, selain hal2 yang 'dianggap normal' saya akan ijinkan dia untuk jadi pelaut, saya akan ajarkan dia bermain bola. Dia harus bisa mengganti bola lampu, memperbaiki saluran yang mampet. Tapi saya akan tegur dia jika dia pergi ke rumah laki2 untuk mengejar2 laki2. Itu akan terlihat murahan.

Kalau anak saya laki2, diapun harus bisa memasak. Bukan untuk memasak bagi orang lain. Paling tidak, dia bisa memasak untuk dirinya sendiri jika istrinya sedang sakit atau bertugas keluar kota. Jadi tidak menjelek2an istrinya dan curhat kepada perempuan lain yang akhirnya jatuh hati karena sepiring nasi goreng yang dibuatkan oleh perempuan itu.

Disana lah kesetaraan bagi saya. Tidak lebih, tidak kurang.

Sabtu, 01 November 2008

Kita

Kebersamaan, pertemuan dan aktifitas rutin yang kita lakukan bersama sedikit banyak mempengaruhi kualitas pertemanan kita. Sejak hari pertama kita bertemu, entah ada magnet apa diantara kita, kita langsung tertarik satu sama lain. Sebulan sejak perkenalan, kita memutuskan untuk tidur bersama (means : berbagi ranjang, bercerita sepanjang malam, lalu telelap menjelang pagi). Kamu sempat bertanya "what if I am pshyco?". Aku hanya membalas dengan, "kalo ternyata yang pshyco itu saya gimana?". Pertanyaan mu itu logis saja, karena saya dengan beraninya menerima kamu, orang baru, untuk bermalam di rumah saya, di kamar saya, dan berbagi ranjang dengan saya. Dan hanya ada kamu dan saya di dalam rumah.

Lalu kita mengalami ups and downs dalam hubungan. Ada kalanya hubungan kita semanis madu yang kamu berikan dalam botol 2,5 liter dan harus saya minum pagi dan malam. Ada waktunya pula hubungan kita bagai kucing dan anjing. Kita berdua memaknai hubungan tersebut sebagai lahan untuk saling mengenal karakter masing2, untuk bisa berkompromi, menghargai dan mencari jalan keluar dari komunikasi kita yang terbentur bahasa.

Satu hal yang pasti : kita tidak pernah give up on each other.

Menangis dan tertawa bersama. Mendukung, mengingatkan, menjaga. Menyayangi dan mencintai.

Ketika harus terabaikan karena perubahan prioritas, kita berdua terdiam. Menangis sendiri. Pernah ada keinginan untuk melepaskan, tapi ternyata kita tidak bisa. Entahkah itu egoisme yang tidak bisa sendiri atau karena berdua artinya kita utuh. Tingkat ketergantungan kita sudah sangat tinggi.

Tahun2 berlalu. Memegang bahu kini menjadi memeluk tubuh, memegang lengan kini menjadi menggenggam tangan. Ada bantal yang tadinya kita letakkan ditengah2 ranjang sebagai batas teritori tak tertulis, sekarang bantal itu kita pakai berdua dan kita hanya memakai satu sisi ranjang untuk tidur. Tangan tetap saling menggenggam erat dalam tidur. Tubuh merapat untuk memastikan tidak ada yang pergi meninggalkan yang lain.

Hubungan kita semakin relax dan semakin baik. Tidak ada pertengkaran besar seperti dulu. Salah paham dan merasa menjadi prioritas kedua masih terjadi, tetapi pelukan dan ciuman setiap hari meyakinkan kita, bahwa kita penting bagi satu sama lain. Rasa cinta dan sayang tidak selalu dalam bentuk membelai dan kata2 manis yang memabukkan. Dan tidak perlu pula ditunjukkan kepada dunia untuk pengakuan dan pengukuhan. Rasa cinta dan sayang kita ada di dalam hati dan perasaan kita.

Ketika orang bertanya tentang kita, kita hanya menjawab dengan senyuman.