Rabu, 05 November 2008

I dream of diversity

Seorang teman baru menyapa, dan dia menyebutkan namanya. Aku membalas nya. Lalu dia bertanya, "kamu dari mana?" . Berhubung saya dari kost, maka saya jawab, saya dari kost. Dia tertawa, dan kembali bertanya, "maksud saya, kamu orang mana?" . Sambil tertawa kecil karena merasa bodoh, saya pun menjawab, "Cempaka Putih Timur". Teman baru saya langsung terbahak2. Terus terang saya bingung, tapi saya ikut tertawa bersamanya.

Hari itu saya menerima banyak pertanyaan yang sama dan reaksi yang sama terhadap jawaban saya, beberapa meng klarifikasi dengan, "ooh kamu orang betawi? orang jakarta?

Setelah mencoba mencari penjelasan dari teman yang saya percaya, akhirnya saya mengerti maksud pertanyaan mereka :"Kamu aslinya dari suku apa?"

Sangat aneh bagi telinga saya. Saya yang tinggal di lingkungan multikultural sejak kecil, tidak pernah mempertanyakan asal usul teman2 dan tetangga saya. Apalagi dikala perkenalan pertama. Apakah kesukuan begitu pentingnya untuk dipertanyakan? Saya mencoba flash back ke masa saya tinggal di lingkungan LNG Arun. Teman2 saya bermacam rupa, berbagai warna kulit, matanya ada yg segaris, ada yang besar, ada yang matanya biru, abu2, dan berambut pirang. Tidak pernah saya atau pun mereka mempertanyakan suku mana aslinya mereka. Bagi kami saat itu, semua adalah teman, walau kami berantem juga sesekali (Scott yang pernah melempar bola basket ke muka saya dan membuat bibir saya pecah berdarah). Kami menyadari kami berbeda, tapi tidak membesar2kan perbedaan itu.

Dalam pementasan budaya sekolah, tidak semua orang membawakan tarian atau baju daerah asal orang tua nya. Saya masih ingat saya memakai baju national Korea, sedangkan teman saya yang dari Manado memakai pakaian adat Aceh, dan teman lain yang dari Kalimantan menggunakan pakaian adat dari Bali. Tidak ada daerahisme yang berlebihan.

Beberapa tahun yang lalu, teman2 dari dunia kerja menambah kepusingan saya. Selain mereka mempertanyakan asal usul daerah asli saya, mereka kerap bertanya, "agama lo apa?". Gees! Bagi saya agama adalah sesuatu yang sangat pribadi, personal, individual. Akan tetapi, kali ini saya lebih diplomatis menjawab pertanyaan tersebut,"kenapa kamu ingin tahu agama saya apa?" Teman saya menjawab, "hanya ingin tahu". Dan saya pun tidak memberitahu.

Sebegitu pentingnya kah tau agama orang lain dalam hal pertemanan. Jika seseorang beragama Kristen, dan yang lain beragama Budha, lalu tidak jadi berteman?

Seseorang dengan pikiran yang sangat dangkal suatu hari men judge saya dan mengatakan seperti ini, "lo pasti akan lebih menolong orang Aceh dari pada orang Medan dong, sama seperti gw yang akan lebih menolong orang Banten dari pada orang Ambon".

No way! Saya tidak menolong orang, berdasarkan kesamaan daerah asal. Jelas2 saya akan menolong teman baik saya yang sedang kesusahan walaupun dia itu Chinese, dari pada saya menolong seseorang yang saya tidak kenal sama sekali walopun asalnya dari Aceh. Get real man! Percaya kan kalo saya bilang orang ini dangkal sekali.

Sampai sekarang, saya masih memimpikan hidup di dunia yang berwarna warni. Kita terlahir dengan ras dan warna kulit, rambut, mata yang tidak bisa kita pilih. Dan tidak ada satupun jenis yang lebih baik dari jenis yang lain. Yang penting adalah cara kita berhubungan satu sama lain dan menghargai perbedaan itu. Kapan ya...semua mimpi itu terwujud?