Selasa, 27 November 2007

Amsterdam Dalam Kenangan

Masih tidak dapat kupercaya. Tapi mungkin juga aku yang terlalu jauh berasumsi. Nat hanya jatuh dari tangga. Itu yang membuat memar2 disekujur tubuhnya. Lalu ada apa dengan pesan di email yang kuterima? Lalu suaminya sekarang. Selama aku dua hari dirumahnya, tidak sekalipun aku mendengar telpon dari suaminya atau Nat menelpon suaminya.

Ahh, sudah lah. Aku sudah berusaha untuk menolong Nat, tapi Nat tidak membutuhkannya. Dia bilang dia akan baik baik saja. Hanya terlalu lelah dengan pekerjaannya, lalu jatuh terjerembab. Dan tentu saja dia ingin sekali kembali ke Indonesia saja. Tapi menurutnya itu hanya keinginan sesaat. Nat mencintai suami dan tempat tinggalnya.

Hari ini aku harus kembali. Kembali ke Jonkoping. Berat hati meninggalkan Nat seorang diri, tetapi hidupku pun harus terus berlanjut. Sepanjang perjalanan aku hanya tertidur.

Niklas menjemputku di bus station. Niklas terlihat ceria sekali. Tidak henti-hentinya menceritakan pertandingan bola yang diikutinya weekend kemarin. Walaupun hasil akhirnya team Niklas kalah, tapi Niklas seneng sekali. Menurut Niklas, bukan hasil akhir dari pertandingan yang penting, tetapi bagaimana pertandingan itu berlangsung lah yang paling penting. Sangat positif. Aku suka itu.

Niklas juga mengabarkan kabar lain. Kabar baik lain yang kuterima adalah Dimitri menelpon ke rumah. Walaupun itu berarti aku tidak sempat berbicara dengannya, at least aku tau kalau dia baik-baik saja. Saat menelpon, Dimitri sedang berada di Amsterdam.

Amsterdam. Kota tua yang menyenangkan. Aku pernah memutuskan untuk menetap di Amsterdam beberapa tahun yang lampau. Tapi kacaunya hubungan ku dengan seseorang telah membatalkan niatku. Seketika lamunanku kembali ke masa lalu. Pekerjaanku sebagai exportir furniture telah mempertemukanku dengan Bastiaan. Lelaki yang akhirnya memintaku untuk menikahinya. Kami telah memiliki sebuah apartement kecil di Antonistraat. Telah mengisi perlengkapan rumah tangga didalamnya. Dengan susah payah menaikkan sofa jati ke lantai empat dengan mengikat tali melalui jendela. Memecahkan satu coffee table. Mengurus surat ini dan itu di city hall. Melihat lihat berbagai design untuk baju pengantin, memilih restoran, mendesign undangan. Aku bahkan berhenti bekerja untuk mengurus itu semua. Saat-saat yang menyenangkan. Tapi semua harus berakhir dengan adanya orang lain yang masuk ke dalam kehidupan kami. Sudahlah, aku berusaha mengibas jauh kenangan buruk itu. Well, suatu hari nanti aku ingin kembali ke Amsterdam, hanya untuk menikmati suasana nya. Berjalan-jalan diantara bangunan-bangunan tua yang mengagumkan. Menikmati sore hanya dengan duduk santai di cafe pinggir jalan. Ya mungkin aku masih bisa pergi ke toko roti favoritku di ujung Antonistraat. Andai saja aku dapat melakukan ini dengan Dimitri...

Begitu tiba di rumah aku langsung membuka komputerku. Sudah beberapa hari ini aku tidak mengecek email. Dan wah, dapat banyak sekali email. Dari seorang teman di Indonesia, mengabarkan perjalanan terbarunya ke Baduy. Aku melihat foto-foto yang di attached. Lalu ada email dari B. Doeksen. Deg. Jantungku berhenti berdegup beberapa saat. Aku baru saja membayang-bayangkan Amsterdam, dan kini Bastiaan Doeksen mengirimkan email untukku. Well, kami memang masih keep contact. Tapi tidak secara rutin. Sudah lebih dari satu tahun rasanya kami tidak saling memberi kabar.

Bastiaan hanya menanyakan kabar. Dia memberitahukan bahwa Christmas nanti ingin ke Indonesia, karena ingin merayakannya di Bandung di tempat tantenya. Dia berharap dapat bertemu dengan ku. Too bad. Tidak mungkin.

Aku dan Niklas belum mempunyai rencana apa-apa untuk Christmas nanti. Well, Niklas pernah berujar, mari kita temui Dimitri dimanapun dia berada saat Christmas nanti. Cukup menarik. Semoga saja Christmas nanti Dimitri berada di negara yang belum pernah kudatangi.