Jumat, 28 Januari 2011

Lembaga Perkawinan

Sering kata "kawin" dipelesetin. "Kawin" atau "Nikah"? Padahal secara legal, adanya Undang-Undang Perkawinan lho. Tidak ada UU Pernikahan.

Baru saja saya mendengar seorang public figure di wawancara di sebuah radio swasta, denga topic ulang tahun anak. Saya tidak mengenal public figure ini secara personal, hanya pernah satu trip expedisi bersama back to year 2007. Jadi saya malah inget lagi kejadian masa2 itu. Seorang wanita cantik, terkenal, pintar, berbakat, pecinta alam, menikah dan memiliki 1 anak. Saya terkagum2 dengan perempuan hebat ini.

Sekembalinya dari expedisi laut selama 10 hari itu, seorang teman saya yang juga ikut dalam expedisi, laki2, terus2an dihubungi oleh wanita ini. Dan terjadilah pembicaraan serius tentang "I wanna sleep with you" Je dang!! Hancur semua rasa kagum saya.

Dia bukan lah satu2nya wanita menikah yang bisa melakukan hal ini. Entah lah saya terperangkap dalam lingkungan transparan, yang membuat saya melihat semua kejadian dengan jelas. Semakin waktu berjalan, semakin banyak wanita dan pria yang terang2an melakukan hal itu.

Lembaga perkawinan hanya bagai sarang, sebagai wadah simbol sosial dan status di atas kertas. Main2 diluar lembaga tersebut tetap dilakukan. Saya punya prinsip sejak lama, jika tidak mampu berkomitmen, stay single. Saya tidak bangga dengan status single saya. Saya pun tidak bangga dengan ketakutan saya berkomitmen. Tapi dengan kondisi "main2" di luar lembaga perkawinan, apakah kita masih berani masuk kesana?

Finding the right one at the right time aja susah, apalagi keep the right one to stay right all the time.

Tidak ada komentar: